BLOGGER TEMPLATES AND MySpace 1.0 Layouts »

Sabtu, 02 Januari 2010

Orchid boy

Orchid Boy

Ini adalah masa SMA, masa-masa yang dipenuhi keceriaan, masa yang takkan terlupakan selamanya.
“Hai temen-temen, lagi ngapain nih ?’’ tanyaku.
“Oh hai May, kita lagi ngumpul-ngumpul aja koq,’’ jawab Imel seorang temanku. Dia adalah teman baikku sejak kita kecil, dia adalah temanku sejak SD hingga sekarang karena kesetiakawanan kita, kitapun masuk ke SMA yang sama.
“Eh Mel, temen lu itu cantik banget siapa dia?’’ tanya seorang teman Imel yang juga perempuan.
“Oh dia Maya, temen gue sejak kecil,’’ sahut Imel. “May kenalin nih, Dewi namanya.”
“Maya,” kataku.
“Dewi,’’ katanya sambil menjabat tanganku.
“Lagi ngomongin apaan nih? Tadi kelihatannya serius banget,” tanyaku penasaran.
“Ah gak kok May, cuman lagi ngobrolin cowok itu tuh,” jawab Dewi sambil menunjuk seorang cowok.
Kulihat cowok itu yang kurasa cowok itu memang pantas jadi bahan pembicaraan.
“Siapa dia?” tanyaku tanpa sadar.
“Dia Dio,” jawab Imel singkat.
Entah apa yang membuatku tertarik padanya, kurasa dia cowok yang baik. Lalu aku sadari Imel memanggilnya.
“Dio,” teriak Imel.
Dia mendatangi kami, dan menyapa kami bertiga.
“Hai,” kata Dio singkat.
“Kenalin May, ni Dio, dia ini temen sekelas gue,” jelas Imel.
“Salam kenal, aku Dio,” katanya ramah.
Dengan agak sedikit gugup akupun memperkenalkan namaku. “A...aku...Maya,” sambil kusambut tangannya yang hangat itu.
“Oh ya maaf aku gak bisa lama-lama disini, aku harus segera ke lapangan basket,’’ kata Dio sambil terburu-buru meninggalkan kami.
“Memang kenapa?” tanyaku pada teman baikku ini.
“Dio memang suka sekali basket, bisa dibilang bintang basket tetapi entah mengapa ia hanya akan bermain 10 menit terakhir saja,” jelas temanku ini.
“Kenapa kau tidak menanyakannya langsung?”
“Sudah pernah kucoba tapi ia selalu menjawab ‘ah tidak apa-apa’,”
Bel sekolahpun berbunyi, saatnya masuk kekelasku. Pelajaran hari ini membosankan sekali, tapi akan terus kujalani hari-hari sekolahku ini untuk menggapai cita-citaku.
Bel tanda istirihat pun berbunyi. Pelajaran fisika tadipun cukup menguras habis perutku ini, cacingpun mulai demo-nya untuk menurunkan secuil makanan pada lambung kecilku ini.
Saat melewati kelas XI-Sains 3, tanpa sengaja aku melihat Dio. Mukanya terlihat memerah entah karena apa.
“Apakah dia melihat ku?” tanyaku dalam batin.
Tapi karena cacing diperutku semakin genjar berdemo, kulanjutkan langkahku ke kantin sekolah. Setelah demo dapat diredakan aku menemui Imel.
“Mel, tadi Dio merah loh wajahnya pas aku lewat didepannya,” kataku ceria.
“Kapan?” tanya Imel bersungguh-sungguh.
“Waktu istirahat tadi,”
Entah kenapa Imel tertawa terbahak-bahak, akupun bingung dengannya.
“Kenapa Mel?”
“Ah gak kenapa-napa kok, eh gue kasih tau ya May, Dio itu wajahnya merah bukan karena ngeliat lu lagi,”
“Terus?”
“Dia tu lagi ngeliatin anggrek ditaman depan kelas kita, Dio tu suka banget ama yang namanya anggrek, lagipula dia tuh bukan tipe orang yang gampang suka ama cewek,’’
“Apa dia suka sama cowok?,’’ tanyaku spontan.
“Eh gila lu, dia tuh masih normal tau, berkali-kali dia ditembak ama cewek tapi terus ditolak. Lu tau Angel kan, yang dianggap cewek tercantik, terkaya n ter-ter yang lainnya disekolah kita pun ditolak ama dia,”
“Kenapa?”
“Aku juga gak tau,” jawab Imel singkat. “Ngomong-ngomong kenapa lu tadi bilang begitu?”
“Ah gak apa-apa kok,”
“Lu suka ama dia ya?”
“Mana mungkin aku suka ama dia, dia aja kayak gitu orangnya. Lagipula kalau aku suka sama dia apa mungkin dia mau jadi pacarku? Cewek tercantik disekolah kita aja ditolak, gimana aku?’’
Bel pun kembali berbunyi, aku berlari kekelas tapi tanpa meninggalkan sepatuku ini. Jam demi jam pun berlalu dan waktu pulangpun tiba. Aku pulang dengan sempoyongan karena otakku telah dikuras oleh berbagai rumus fisika dan kimia hari ini, ditambah lagi panas matahari yang mematangkan telur jika didadar diatas kepalaku.
Sampai dirumah kurebahkan tubuh ini diatas kasur empuk dikamarku. Kulihat jam menunjukan pukul 2 siang, teringat diriku kalau sholat dzuhur belum kulaksanakan. Segeralah aku bangkit dari tempat tidur, kuganti bajuku ini, mengambil air wudlu dan kulaksanakan kewajiban setiap umat islam ini.
Sholat pun selesai kukerjakan, hidung tajamku ini mulai mencium bau harum dari dapur. Ternyata itu ikan asin kesukaanku yang baru saja lompat dari penggorengan. Tanpa menghiraukan mamaku yang masih sibuk menggoreng ikan itu. Kuambil seekor ikan yang telah matang tentunya dan tak lupa sepiring nasi yang menjadi makanan pokok bangsa Indonesia sejak dulu kala.
Dengan lahap kusantap makanan tadi tak bersisa hingga liur kucingkupun menetes seperti air terjun(lebay). Sisa kegiatan hari itu gak kutulis karena bakalan panjang banget kalau kutulis semua.
Langsung saja esok paginya.
“May besok ada pertandingan basket mau liat gak?” tanya Imel.
“Ah malas ah, besok kan weekend, masak juga harus kesekolah sih,’’ jawabku malas.
“Dio main loh besok!” jelas Imel untuk menarik perhatianku.
“Ah terserahlah,’’
“Okelah kalo begitu,’’ kata Imel sambil meniru gaya ‘Warteg Boys’ yang lagi naik daun kayak ulet. “Gue jemput lu besok jam 8, cepetan mandi besok,’’ kata terakhirnya hari ini.
Kembali esok paginya.
“May cepetan!!!” teriak temanku yang dari dulu gak sabaran ini.
“Iya-iya,’’ jawabku ogah-ogahan.
Sesampainya disekolah, ternyata sekolah sudah dipenuhi cewek-cewek pendukung Dio walaupun Dio saat itu belum datang. Kami mencari tempat duduk yang nyaman untuk kami berdua. Dan aknhirnya pertandingan dimulai dan sorak-sorai cheers mengumandangkan nama Dio walau saat itupun Dio masih belum datang.
“Mana Dio?” tanyaku.
“Lu kangen ya ama dia?” canda temanku. “Dia pasti dateng, tenang aja lu.”
Pertandinganpun terus berlangsung tapi Dio tak kunjung datang sehingga tim sekolah kita ketinggalan lumayan jauh yaitu 76-93. Quarter keempatpun tiba dan sang pahlawanpun akhirnya datang. Sebelum bermain ia membawa sekuntum bunga anggrek ditangannya dan setelah mencium bunga itu ia turun ke lapangan.
Berkat kedatangan Dio tim kita berhasil menang dengan skor 111-96. Pertandinganpun selesai, tanpa mengatakan sepatah katapun Dio langsung pergi dari kerumunan cewek-cewek yang mengidolakannya itu. Tak kuduga sebelumnya, ternyata Dio menuju kearah kami berdua.
“Hai Dio! Bakalan ada pesta kecil-kecilan dong?” celetuk Imel.
Dio tersenyum. “Baiklah, kalian berdua datang aja kerumahku nanti sore.”
Sore harinya dirumah Dio.
Aku bertanya” Beneran ini rumahnya Mel?”. Seraya aku terpana dengan besarnya rumah Dio. Dan tak lupa akupun memperhatikan anggrek yang berada disana-sini.
“Udah masuk aja,’’ kata Imel seenaknya.
Kami berdua mengucapkan salam dan Dio yang membuka pintupun langsung mengajak kami berdua masuk. Dio menajak kami untuk ngobrol ditaman belakang. Disanapun aku kembali terpana dengan banyaknya anggrek disini, bahkan ada beberapa jenis anggrek yang tak kukenal.
Dio kembali masuk kedalam dan tak beberapa lama ia keluar dengan membawa minuman dan camilan.
Karena penasaran dengan anggrek tadi, akupun menanyakan kepada Dio jenis-jenis anggrek yang belum pernah kulihat tadi. Dengan sangat jelas Dio menjawab berbagai pertanyaan dariku. Lalu saat berkeliling tamannya aku melihat anggrek yang menurutku paling cantik dari semuannya.
“Anggrek apa itu Dio,’’ tanyaku sambil menunjuk salah satu dari anggrek itu.
“Apaan sih?” kata Imel sambil melongok dan melihat apa yang sedang kutunjuk dan masih terus mengunyah camilan yang memenuhi mulutnya.
Sambil tersenyum hangat, Dio menjawab,’’ Itu anggrek salju.’’
“Aku baru denger.’’ Kataku singkat.
“Itu adalah satu-satunya anggrek yang bisa bertahan selama musim dingin di Eropa. Itu adalah anggrek terindah yang menjadi kesayanganku’’
Karena sibuk melihat-lihat anggrek, tanpa terasa aku telah berada sendirian di taman yang cukup luas ini. Aku mencari kedua temanku itu. Saat kutemukan mereka ternyata sedang duduk berdua di pondok ditengah taman.
Mereka terlihat kaget melihatku. Aku lari sekencangnya, Aku berpikir sambil menangis, Imel tahu perasanku pada Dio tetapi kenapa dia menghianatiku. Mereka berdua mengejarku tapi aku ak peduli akan mereka.
Beberapa hari aku tidak bicara pada Imel. Dia berusaha meminta maaf tapi tidak kuhiraukan.
Seminggupun berlalu setelah pertengkaran kami. Hari ini ada pertandingan basket final. Imel mengajakku untuk nonton bareng karena tentunya akan ada Dio disana. Tapi kutolak mentah-mentah.
Di lapangan......
“Pelatih aku minta dimainkan penuh hari ini,’’ kata Dio memaksa.
“Kenapa? Kondisimu kan tidak memungkinkan,’’ jawab sang pelatih.
“Sudahlah ini permintaan terakhirku, mungin ini akan jadi pertandingan terakhirku,’’ kata Dio sambil memalingkan mukanya.
Dengan berat hati pelatihpun mengijinkan Dio main penuh hari ini. Dan pertandinganpun dimenangkan oleh SMA kami. Tapi saat itu Dio langsung pingsan dan dilarikan kerumah sakit terdekat.
Tanpa mengetahui apa-apa aku tetap berangkat sekolah seperti biasa. Disekolah hari entah kenapa aku tidak melihat Imel dan Dio. Lalu aku bertannya ke beberapa teman dekat Dio bahwa ia sedang dirawat dirumah sakit. Kupikir mungkin Dio terkena penyakit demam biasa jadi aku tidak menjenguknya.
Tapi beberapa hari kemudian aku mendapat kabar bahwa Dio meninggal. Akupun shock mendengar itu. Tak terasa air matapun menetes dari pelupuk mataku. Antara marah dan sedih karena aku tidak menjenguknya pada hari-hari terakhirnya dirumah sakit. Aku berangkat menuju rumah Dio dengan berlinang air mata.
Dirumah Dio telah banyak terpampang bendera kuning yang melambangkan duka yang mendalam. Disana terlihat pula beberapa teman Dio juga teman baikku yang akhir-akhir ini kuabaikan.
Sambil menangis aku memeluk Imel shabatku itu. Kami berpelukan eret berlinang air mata.
“Kenepa bisa terjadi seperti ini Mel?” tanyaku sambil menangis.
“May sebenarnya Dio telah di vonis akan meninggal tidak lama lagi. Karena itu saat pertandingan kemarin ia minta bermain penuh pada pelatih,’’ jelas Imel.
“Dia sebenernya saikt apa.’’
“Sudah sejak lama ia menderita sakit jantung, karena itu walau dia selalu menjadi pangeran lapangan ia hanya diperbolehkan main selama 10 menit terakhir saja.
Sambil terus menitikan air mata kulihat suasana sekitar yang terlihat sangat berduka. Dan tatapanku tanpa sengaja tertuju pada anggrek salju yang merupakan kesayangan Dio pun kini juga layu. Kami secara khidmat terus mengikuti prosesi pemakaman Dio.
Saat pemakaman selesai imel menyerahkan surat dari Dio padaku.
“Surat apa ini Mel?’’
“Ini adalah surat yang membuat kita salah paham dulu. Dio memberikan ini saat kita bertiga berada di tamannya dulu. Bacalah.’’
Akupun membacanya.

Buat Maya,
May, setelah melihatmu aku merasa ada sesuatu yang berbeda tentang dirimu. Kau berbeda dengan cewek-cewek lain yang ada di seolah kita ini. Aku melihat ketulusan hati yang tak ada pada cewek lain dimatamu.
Lalu melihat kau yang ternyata teman baik Imel yang kebetulan teman baikku juga. Aku mengutarakan perasanku ini pada Imel. Dan saat Imel berkata kau juga ternyata menyukaiku, hatiku ini terasa sungguh bahagia. Hatiku yang kata teman-teman seperti gunung es ini akhirnya dapat kau cairkan dengan ketulusan hatimu.
Tapi aku sadar, aku tak dapat memilikimu karena penyakitku ini. Aku tak mau membuatmu sedih karena hidupku sudah tak lama lagi. Karena itu lewat surat ini aku dapat menyampaikan isi hatiku padamu.
Aku juga mengucapkan terima kasih padamu, karena kau telah mengisi kekosongan yang selama ini ada dihatiku. Dan kata terakhirku tetaplah semangat menjalani hidup dan jangan sedih atas kepergianku.....

Salam hangat


Dio

Lalu air mataku ini kembali mengalir deras dipelupuk mataku. Tapi segera kuhapus karena aku teringat kata-kata terakhir Dio agar aku jangan sedih atas kepergiannya.
Aku kembali memeluk Imel sahabat terbaikku itu. Dan akupun akan tetap bersemangat menjalani hidup ini walau banyak rintangan mennti dihadapanku...........


With Darkness

Yami Riyan Akira

0 komentar: