BLOGGER TEMPLATES AND MySpace 1.0 Layouts »

Rabu, 24 November 2010

Hanya Menunggu Waktu

Azrael murka
Membuka lembaran amal manusia
Tertulis segala dosa
Menebaskan sabit kematian
Mencabut nyawa dari kaki hingga kepala

Ribuan nyawa bukan masalah
Sekali tiup semua musnah
Gundukan tanah mengeluarkan darah
Sumber hidup pembunuh utama
Leviathan pun mengayunkan cambuknya

Uriel memanas
Lidahnya menggemparkan dunia
Manusia bagai anai – anai
Saat Suphlatus menginjakan kakinya

Teringat semua
Oleh Zachriel
Tanpa wajah
Dialah
Yang mengingat semua
Dari awal
Sampai apocalipta

Yang terakhir kita
Hanya doa
Tertimbun dosa
Sudah tak lama, besok, hari ini atau sekarang juga

Lion war

Ksatria yang menggenggam pedang
Demi kristal yang berada di hati
Mengukir kenangan yang hilang pada sebuah pedang
Tergambar pada sebuah prasati
Sebuah cerita kepahlawanan
Yang kini akan terungkapkan

Aku Alazlam, tetua yang tahu segalanya tentang Ivalice…
Pernahkah kau dengar tentang Lion War? Sebuah perang yang membagi Ivalice menjadi dua kubu. Perang ini berakhir atas kemunculan pahlawan muda yang bernama Delita. Semua orang tahu tentang dia.
Tetapi kita tahu, kadang apa yang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri, bukanlah kebenaran.
Dialah, anak termuda dari bangsawan Beoulve. Vahn Beoulve.
Semua orang menganggapnya sebagai ancaman dan akar dari kejahatan. Tapi, inilah kenyataan.

*****

Disuatu malam, di sebuah biara di kota Orbonne yang diliputi rintik hujan. Seorang putrid sedang berdoa tentang apa yang telah terjadi dan memohonkan ampunan pada Tuhan atas segala yang telah umat manusia lakukan.
“Tuhan, lindungilah kami, anak – anak Ivalice yang penuh dosa.”, sebuah doa dari putri Ovelia. “Putri, ayo kita segera pergi!”, Agrias, seorang pejuang wanita yang akan mengorbankan hidupnya demi melindungi sang putri. “Tunggu sebentar, Agrias!”. “Para pengawal sudah tiba.”.
Seseorang datang dengan luka di sekujur tubuhnya. “Pasukan… Pangeran Goltana… argh…”. “Kelihatannya kita dapat masalah! Vahn, Rad ayo kita habisi mereka!”, Gafgarion. “Eh, tunggu sebentar, aku bukan lagi seorang ksatria, kita hanya pengawal bayaran.”, Vahn.
“Oh Tuhan…”, Ovelia menyesal sambil menangisi atas segala yang mulai terulang.
Kemudian, Agrias, Vahn, Rad dan Gafgarion keluar dari biara.
“Hah, hanya sekumpulan serangga!”, Gafgarion. “Raja dari semua pedang! Pedang Malam, penghancur kekuatan!”
Dan hanya sekali tebasan dapat langsung menewaskan siapapun yang menghalanginya.
Sebuah pertarungan yang tidak berlangsung lama karena Gafgarion dan Agrias adalah ksatria yang cukup kuat diantara beberapa ksatria. Tapi…
“Aaaaahhhhh,” Ovelia menjerit. “Diam! Dasar putrid tak berguna!,” Teriak seorang ksatria pada Ovelia. Kemudian dia memukul Ovelia hingga pingsan. Dia menaiki seekor Chocobo .dan melarikan diri.
“Tunggu!”, Agrias berteriak tak berarti.
“… Delita? Kau masih hidup? Tapi, kenapa kau bergabung dengan pasukan Goltana? Kenapa?”, aku berkata dalam hatinya seraya bimbang atas yang telah dilakukan Delita.

Nama Delita muncul pertama kali, setahun sebelum Lion War dimulai. Pasukan yang kembali dari perang, tak punya pekerjaan, uang dan kesetian pada raja. Banyak dari mereka yang menjadi pencuri dan pemberontak untuk menentang pada keluarga bangsawan. Dan saat itu, perampokan dan pembunuhan adalah hal biasa di Ivalice. Akhirnya datang pahlawan dan para penyihir disini. Tak terkecuali di Gariland…
*****

Aku dan Delita masuk dalam angkatan perang. Karena kita adalah pasukan baru, maka aku dan Delita, juga anggota baru yang lain dikumpulkan di ruang pertemuan pasukan militer untuk mendapat pengarahan.
“Aku mendengar sebuah kereta menuju Igros telah diserang.”, kata seorang prajurit.
“Itu pasti Death Corps.”, kata pasukan yang lain.
“Sesuatu sedang dimulai… Kau tahu sesuatu, Delita?”, tanyaku pada Delita.
“Tidak… tapi aku bisa menebaknya.”, jawab Delita.
“Apa maksudmu?”, aku bertanya lagi.
“Pangeran Larg telah datang ke kota.”, Delita kembali menjawab.
“Pangeran Larg? Kenapa?”, aku terus bertanya karena tak mengerti tentang apa yang Delita pikirkan.
“Tidak hanya Larg, tapi juga Marquis Elmdor dari Limberry.”
“Bukankah itu hanya kunjungan biasa?”
“Ada banyak daerah yang berbahaya di Ivalice. Pasukan Hokuten sedang dalam misi genting saat ini, dan mereka sedang butuh pasukan saat ini.”, Delita menjelaskan.
“Jadi mereka akan merekrut kita sebaga prajurit.”
Tiba – tiba…
“Semuanya perhatian! Kalian dapat misi. Seperti yang kalian tau, ada banyak penjahat di kota saat ini. Para pemberontak sedang menyerang keluarga bangsawan saat ini berada di Gallione. Menurut perintah tuan Larg, pasukan akan ditempatkan di istana Igros, kita pun akan berpartisipasi. Intinya kalian harus melindungi istana Igros.”, kata pemimpin kami yang sedang menjelaskan situasi saat ini.
Sesorang datang membisikan sesuatu pada pemimpin kami.
“Siapkan pedangmu! Pada pencuri sedang mencoba menysup ke kota. Kita akan memulai misi ini dengan mengamankan kota ini lebih dulu!”
Kami semua menuju pusat kota Gariland dan bertemu segrombolan pencuri.
“Apa ini? Hanya sekumpulan anak anak!”, kata pemimpin dari para pencuri itu. “Ayo kita bunuh mereka semua dan pergi dari sini.”
“Vahn, hati – hati. Jangan memaksakan dirimu.”, Delita menasihatiku.
“Jangan khawatirkan aku, Delita. Aku adalah seorang Beoulve!”, kataku.
“Beoulve!? Keluarga Beoulve, ya? Jadi, kalian pasti dari akademi militer. Anak ingusan dari bangsawan!”, kata seorang pencuri sambil tertawa.
“Diam! Menyerah atau mati!”, bentakku dengan marah.
“Apa yang bisa dilakukan oleh anak manja seperti kalian?”
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bertarung. Kibasan pedang menyabik kulit. Darah memercik dari tiap sapuan pedang dan lesatan panah. Hingga mereka akhirnya bias membunuh semua pencuri.
“Kenapa mereka lebih memilih hidu sebagai pencuri dan memilih terbunuh seperti ini.”, aku berkata dengan rasa menyesah karena harus ada pertumpahan darah.
*****
Setelah perang selama 50 tahun berakhir, di kediaman keluarga Beoulve. Sang Ksatria pemberani, Balbanes menatap hari terakhirnya di ranjang tuanya yang mewah.
“Bagaimana keadaannya?”, Tanya Balbanes.
“Kita berhasil mengamakan Limberry untuk sementara waktu. Hanya masalah waktu sebelum pasukan Ordalia menggalkan Zeltennia. Jangan khawatir.”, kata Zalbag pada ayahnya.
“Penyampai pesan rahasia untuk pangeran Lenario telah kembali. Dan pangeran Lenario menyetujui rencana kita.”, jelas Dycedarg yang kini telah menggantikan ayahnya sebagai raja.
“Baiklah kalau begitu… Akhirnya perang yang panjang ini… akhirnya berakhir.”, kata Balbanes sambul tersengal – sengal.
“Ayah…”, kata Alma sambil menangis.
“Jangan menangis putriku.”
“Dimana Vahn? Kita sangat membutuhkannya saat ini.”, kata Zalbag yang semakin khawatir karena keadaan ayahnya yang makin buruk.
“Dycedarg, Zalbag… putraku. Jagalah Vahn. Mungkin dia bukan saudara kandungmu, tapi dia juga bagian dari keluarga ini.”
“Ayah!”, Vahn datang dengan tergesa – gesa.
“Pelankan suaramu!”, kata Dycedarg.
“Aku senang kau datang. Kemarilah, aku ingin melihat wajahmu.”
“Ayah…”, kata Vahn sambil menggenggam tangan ayahnya.
“Setelah sekian lama… kau akhirnya dapat masuk akademi militer pada musim semi. Dengarkan aku Vahn, Keluarga Beoulve telah melayani kerajaan selama bertahun – tahun. Kita adalah patokan dari semua ksatria. Jangan permalukan nama keluarga kita, tumpas semua ketidakadilan. Percaya pada hatimu adalah jalan hidup seorang ksatria… jalan hidup seorang Beoulve”
“Aku mengerti, ayah”
“Delita adalah orang yang baik. Dia akan menjagamu. Aku meminta ketua militer untuk mengijinkannya masuk akademi. Percayalah kepadanya.”
“Ya, ayah.”
“Jagalah Alma. Jadilah ksatria yang kuat.”
Dan Balbanes pun mengucapkan kata terakhir itu kepada Vahn. Anak termuda dari keluarga bangsawan Beoulve.

*****

“Heh, dia masih hidup.”, kata seorang pencuri.
“Jangan bodoh, kita hanya harus menangkap Marquis.”, kata pencuri yang lain.
“Oh tidak, pasukan Hokuten!”
Vahn, Delita dan pasukan Hokuten tiba di daratan Mandalia. Mereka melihat seseorang diserang oleh pencuri dari Death Corps.
“Death Corps! Mereka menyerang seseorang!”, teriak Delita.
“Kita harus menyelamatkannya dulu.”, kataku.
“Bantuan, syukurlah”, kata dia yang diserang.
“Ayo pergi! Lebih baik kita tidak berurusan dengan Hokuten!”, kata pencuri itu dan mereka pun melarikan diri.
Vahn pun mendekati orang yang tadi diserang oleh death Corps.
“Kau tak apa?”
“Ya, tapi Marquis.”
“Marquis? Maksudmu Marquis Elmdor?”
“Yeah. Siapa kalian?”
“Kita pasukan militer. Kupikir kita dapat menolong. Ceritakanlah pada kami.”
“Aku Algus, ksatria dai Limberry.”
“Seorang ksatria?”, Delita bergumam.
“Maksudku pasukan militer seperti kalian.”
“Aku Vahn Beoulve. Dan dia Delita, teman yang baik.”
“Beoulve? Dari pasukan Hokuten? Beruntungnya aku. Tolong selamatkan Marquis”, pinta Algus sambil menggenggam tangan Vahn.
“Apa yang kau bicarakan?”, tanya Delita penasaran.
“Tuan Marquis masih hidup. Mereka telah menculiknya. Dia akan dibunuh, jika kita tidak bergerak cepat.”
“Tenanglah. Pasti ada alasan kenapa Death Corps menculiknya.”, jelas Delita mencoba menenangkan Algus.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan. Marquis telah diculik dan aku yakin semua orang di istana Igros sedang dalam kondisi siaga saat ini.”, aku menyambung penjelasan Delita.
“Kita harus melaporkannya dulu ke istana Igros.”

*****

“Aku mendengar kau mengalahkan pasukan musuh. Aku bangga menjadi saudaramu. Kau benar – benar keturunan Beoulve.”, kata kakakku Dycedarg, dengan bangga.
“Terima kasih.”, kataku singkat.
“Bukankah kau senang?”
“Tentu saja. Terima kasih atas segala pujianmu. Kau mungkin telah mendengar penyerangan musuh terhadap kereta Elmdor dan menculiknya. Apa yang harus kita lakukan.”
“Aku telah mengirim albag untuk mencarinya. Mereka mungin menginginkan tebusan.”
“Yang mulia. Ijinkan aku embawa 100 pasukan.”, kata Algus.
“Apa kau tidak mendengarku? Kita sudah menanganinya. Gallione bukanlah tempat untukmu. Biarkan kita yang mengatasinya.! Pikirkan tentang levelmu. Kau hanya pasukan biasa tanpa ranking keksatriaan. Aku ingin kalian semua mengawal istana ini. Kupikir ini bukanlah tugas yang sulit.”
Karena tidak puas dengan keputusan Dycedarg. Algus menuju benteng gerombolan pencuri yang ia perkirakan menculik Elmdor Marquis. Tapi Algus tidak sendirian, ia bersama vahn, Delita dan beberapa pasukan Hokuten.

*****

“Kita kehilangan kontak dengan markas utama.”, Miluda.
“Tidak! Apakah itu benar – benar terjadi?”, kata seorang pendeta dari Death Corps khawatir.
“Aku yakin. Ini dikarenakan oleh keluarga bangsawan.”,. kata pendeta Death Corps yang lain.
“Kakakku terlalu yakin akan apa yang diperbuatnya.”, Miluda.
“Ada pasukan Hokuten!”, teriak seorang penjaga dari benteng Death Corps.

Vahn dan Delita juga Algus dan pasukan Hokuten tiba di benteng musuh.
“Vahn, Bantu aku menyelamatkan tuan Marquis. Aku akan benjuang hingga akhir.”, kata Algus berapi – api.
“Kita harus mengalahkan Miluda. Pemimpin dari paukan pencuri itu.”, jelasku.
Mengetahui bentengnya diserang, miluda angkat senjata dan serentak mengayunkan pedangnya pada Delita. Delita terus berusaha menahan kekuatan seorang wanita yang berbeda dari serangan wanita biasa.
“Kau pikir siapa kau? Kita bukan peliharaan kalian! Kita adalah manusia, sama seperti kau! Tak ada perbedaan antara kita dan keluargamu! Pernah kau merasa lapar? Dan hanya terus makan sup selama sebulan? Kenapa kita harus menderita? Karena keluarga bangsawan telah mencabut hak kita untuk hidup!”, kata Miluda dengan tegas walaupun dalam kata – katanya adalah sebuah tangisan dari hati.
“Manusia? Hmm, aneh! Sejak kau dilahirkan, kau harus mematuhi kita! Selanjutnya, kalian akan jadi peliharaan kami!”, kata Algus menghina mereka.
“Katakan siapa? Itu omong kosong! Siapa yang memutuskan ini semua!”
“ Ini adalah keinginan dari surga!”
“Surga? Tuhan tak akan mengatakan hal seperti ini! Di mataNya, kita semua sama. Dia tak akan membiarkan ini terjadi.”
“Peliharaan tak punya Tuhan!”
Miluda mengarahkan serangannya pada Algus karena kata – katanya semakin melukai hatinya. Ditengah pertarungan Algus dan Miluda, Delita pun berpikir tentang apa yang sedang terjadin saat ini. Ia pun mendekati Vahn.
“Vahn, benarkah dia musuh kita.”, tanya Delita padaku. Delita sedang bimbang tentang benar dan salah. Dan apakah yang dia lakukan ini benar – benar hal yang terbaik.
“Menyerahlah. Dan kita akan mengampunimu.”, kataku untuk menenangkan Miluda yang sedang beradu pedang dengan Algus.
“Bunuhlah kita semua. Kita hanya hewan peliharaan!”, kata Miluda sambil terus mengayunkan pedangnya.
“Kau sungguh membenci kami…”
“Vahn, bunuh dia sekarang. Dia musuh kita! Musuh dari Beoulve! Apa kau mengerti? Dia adalah pencundang yang kehilangan pandangan hidup! Pecundang tidak bisa dibiarkan hidup! Bunuh dia, dengan tanganmu!”, kata Algus yang semakin membuat pertarungan diantara kita semakin sengit.
“Vahn, aku tidak melihat kenapa dia menjadi musuh kita?”, Delita kembali berkata kepadaku. Dan semua kata – kata ini membuatku pun mejadi bimbang.
“Apa yang kau katakana Delita? Apa kau gila?”, kata Algus dengan marah.
“Dia bukan binatang. Dia juga manusia seperti kita.”, sambung Delita.
“Apa kau menghianati kita?”, kata Algus yang semakin marah.
“Oh, rasa simpati? Dasar orang lemah. Kau adalah musuhku selama kau Beoulve! Jangan lupakan itu!”, kata Miluda yang semakin tak takut mati.
Karena Algus lengah, Miluda menebaskan pedangnya pada Algus dan melarikan diri karena pasukannya sudah mulai banyak berkurang.
“Delita… apakah kita?”, tanyaku pada Delita karena suatu penyesalan.
“Bodoh! Apa yang kau lakukan!?”, Algus.
Sementara itu, di Igros, ibukota Gallione. Istana Beoulve diserang oleh Death Corps.
“Pergi! Lepaskan aku!”, Teta.
“Cepat!”, Golagros menarik tangan Teta.
“Pergi! Lapaskan tanganku.”, Alma
Zalbag datang dan membunuh seorang yang menarik tangan Alma.
“Sial! Dia datang!”, Golagros.
Lalu Golagros melarikan diri dan menculik Teta.

*****

Saat Delita dan Vahn kembali ke Igros. Keadaan kota telah berantakan. Vahn menanyakan apa yang terjadi pada Dycedarg. Mereka pun mengetahui bahwa kota telah diserang oleh Death Corps dan Teta diculik.
“Tunggu Delita! Kau mau kemana? Tenanglah!”, aku mencoba menenangkan Delita.
“Tenang! Apa kau bercanda? Aku tak akan bisa tenang!”, Delita membentakku.
“Kau tak tau dimana Teta. Jangan buang waktumu. Lagi pula, kakakku telah megirim Zalbag untuk mencari Teta.”
“Membuang waktu katamu? Dia adalah adikku satu – satunya!”, kata Delita yang kemudian ia mencekik leherku karena marahnya.
“Ingatlah kata Dycedarg… ia tak akan membiarkan Teta. Ugh… aku tak bisa bernafas.”
Delita lalu melepaskan cekikannya pada leherku.
“Maaf, Vahn. Kau tak apa?”, kata Delita sambil menyesali perbuatanya.
“Yeah… uhuk… uhuk”, aku terbatuk – batuk karena cekikan Delita yang begitu kuat.
Kemudian Algus datang.
“Jangan percaya jika kau tak melihatnya sendiri.”, kata Algus mengejek.
“Maksudmu saudaraku bohong!”, teriak vahn geram.
“Jika aku adalah dia. Aku tak akan menyelamatkan gadis biasa.”
“Apa katamu?”, kata Delita yang makin marah karena perkataan Algus.
“Aku bilang, aku tak akan mengirim pasukan untuk menyelamatkanmu, orang biasa!”, kata Algus semakin keras.
“Beraninya kau!”, Delita kemudian memukul Algus tepat dimukanya hingga Algus tersungkur.
“Hentikan, Delita!”, aku mendekati Delita dan menahannya dari belakang.
Algus kemudian mendekati Delita dan berusaha membalas pukulan Delita. Tapi aku menengahi mereka.
“Biarkan aku membalasnya! Brengsek! Heh, orang sepertimu itu semua sama. Kau tak akan pernah jadi seorang bangsawan. Kau tidak dibutuhkan disini! Kau mengerti brengsek?”, Algus semakin mengejek Delita dan membuatnya semakin marah.
“Sialan kau!”, Delita.
“Cukup, Delita! Kau juga, Algus!”, kataku membentak mereka berdua. Aku mencoba menenangkan Delita dan menghentikan Algus.
“Vahn, apa kau tak melihat? Dia bukan bagian dari kita. Vahn, kita adalah keluarga bangsawan, kita tak bisa hidup bersama mereka.”, Algus masih meneruskan kata – katanya.
“Omong kosong! Dia teman baikku. Kita seperti saudara!”, kataku membantah perkataan Algus yang menurutku sudah sangat keterlaluan.
“Itulah intinya. Jangan bertingkah sebagai temannya. Kau adalah anak seoranmg bangsawan. Kau tak bisa hidup bersamanya. Saudaramu pasti setuju denganku.”
“Tidak semua bangsawan sepertimu! Aku percaya pada Vahn!”, Delita membantah perkataan Algus dengan tegas. Delita kemudian pergi meninggalakan kita berdua.
“Pergilah! Aku tak ingin melihatmu lagi.”, kataku pada Algus dengan nada rendah.
Tapi sebelum Algus pergi, ia mengatakan sesuatu.
“Markas mereka di Fort Zeakden. Aku mendengarnya dari saudaramu. Ada penjagaan yang ketat disana. Kau tak bisa menyerang mereka di depan. Tentu saja kau harus menyerang mereka dari belakang. Lakukan yang terbaik anak manja!”, kata Algus sambil tetap mengejek, kemudian ia pergi.

*****

Vahn mencari kemana Delita pergi. Dan akhirnya ia menemukannya di daratan Mandalia. Mereka kemudian duduk bersama sambil melihat terbenamnya matahari.
“Indah. Di suatu tempat mungkin Teta sedang melihat matahari terbenam sang sama”, kata Delita lembut.
“Jangan khawatir. Teta akan baik – baik saja.”
“Aku telah sendirian untuk waktu yang lama.”
“Apa kau memikirkan yang Algus katakan?”
“Aku pikir ada banyak hal yang tak bisa dirubah, bagaimanapun usahamu.”
“Jangan terlalu memikirkan hal itu.”
“Bisakah aku jadi bagian dari kalian? Aku ingin menyelamatkan Teta dengan tanganku sendiri, tapi aku sungguh tak berguna.”
Aku tidak menjawab perkataan Delita dan tetap menatap langit. Delita kemudian mencabut sehelai rumput.
“Ingatkah kau bagaimana ayah mngajarkan kita meniup peluit rumput.:
Aku mengangguk dan mencaput sehelai rumput. Dan kita pun meniup peluit rumput itu berdua sambil terus menatap akhir hari ini.

*****

Di Fort Zeakden, Golagros menculik Teta dan menjadikannya sebagai tawanan.
“Ayo kita pergi dari sini. Jangan lakukan hal yang berbahaya karena ruangan ini penuh dengan bubuk mesiu yang lebih dari cukup untuk membunuh kita semua!”, kata Golagros yang terus menari tangan Teta untuk mengajaknya pergi dari sini.
Kemudian saat Golagros dan pasukannya hendak melarikan diri. Zalbag dan pasuka Hokuten beserta Algus menghadangnya.
“Kalian bukan ancaman bagi pasukan Hokuten!”, kata Zalbag.
Tak lama kemudian Vahn dan Delita pun datang tapi dari arah yang berbeda.
“Kakak! Algus!”, aku terkejut melihat kehadiran mereka.
“Lakukan Algus!”, perintah Zalbag pada Algus.
Algus kemudian mengarahkan busurnya dan melesatkan panahnya. Tapi Golagros yang terkejut mengindar sehingga panah itu mengenai Teta.
“Delita…”, pekik Teta yang terluka.
“Teta!!”, teriak Delita yang melihat adiknya terluka.
Seorang pasukan Hokuten lain datang dan menginformasikan bahwa ada 500 musuh di jalan menuju pegunungan. Kemudian Zalbag menyuruh Algus untuk mengatasi mereka semua dan Zalbag pun pergi.
“Algus, kau brengsek”, kata Delita.
“Kau ingin pertarungan? Baiklah kalau begitu.”, Algus menantang kami.
“Kenapa kau melakukan ini, Algus? Kenapa?”, tanyaku menyesal atas perbuatan Algus dan saudaraku yang membiarkan Teta terluka.
“Ini keinginan saudaramu. Jangan Tanya kenapa. Disamping itu apakah kau ingin mengorbankan pasukan hokutan hanya untuk gadis biasa.”
“Teta adalah adik Delita!”
“Ini hanya soal waktu, kau akan belajar tentang perbedaan. Dimana kau dilahirkan, hidupmu pun akan berbeda. Ini takdir. Apa kau tidak setuju denganku, Vahn? Kau dalah penghianat pasukan Hokuten.”
“Ta… tapi ini tidak bisa dimaafkan.”
“Kau hanya anak manja. Bagaimana orang sepertimu bisa jadi seorang Beoulve.”
“Aku tak punya pilihan.”
“Kau seperti bayi. Beoulve adalah pemimpin dari semua ksatria. Beoulve memiliki tanggungjawab yang besar.”
“Aku tak mau hidup hanya untuk dimanfaatkan oleh orang lain.”
“Dimanfaatkan. Heh, omong kosong. Beoulve dimanfaatkan karena apa yang mereka lakukan. Orang – orang berlindung kepada kita, menghormati kita. Yang memanfaatkanmu adalah Delita.”
“Aku? Dimanfaatkan Delita?”
Tanpa Vahn sadari, pertarungan yang sejak tadi terjadi antara pasukan Hokuten bersama Algus melawan Vahn dan Delita telah menelan banyak korban. Darah pun tercecer. Perdang menghunus. Panah – panah terus melesat. Pertumpahan darah yang membanjiri arena pertarunganpun tak terelakan. Hingga akhirnya Vahn menyadari Delita terluka.
“Kau tak apa, Delita?”
“Tinggalkan aku, Vahn. Setelah Algus, aku akan membunuhmu.”
“Delita…”, aku terdiam mendengar perkataan Delita. Mungkin kemarahan Delita telah mencapai puncak.
“Algus! Kau membunuh Teta. Aku bersumpah akan membunuhmu!”
“Kau marah Delita? Marah karena kau merasa tak berguna? Aku tau kemampuanmu! Orang sepertimu tak akan bisa merubah apapun. Marah, hanya itulah yang dapat kau lakukan. Ha, ha, dasar pecundang!”
“Hanya itukah yang dapat kau katakan?”
“Jangan marah, Delita. Kau akan segera menyusulnya.”, saat Algus mengatakan hal ini. Vahn sigap menusuk Algus dari belakang dan matilah Algus.
Delita kemudian mendekati tubuh Teta. Ia mendekap tubuh Teta.
“Delita…”, kataku yang turut berduka atas kematian Teta.
Tiba - tiba terdengar bunyi ledakan.
“Apa itu? Sebuah ledakan! Delita, disini berbahaya. Ayo pergi dari sini!”, kataku pada Delita. Tapi Delita tak menghiraukannya.
Kemudian seluruh tempat itupun akhirnya meledak, Delita menghilang pada ledakan itu. Dan Fort Zeakden pun terbakar.

*****

Aku menjalani seluruh hidupku untuk meraih suatu kebanggaan. Tapi saat semua itu datang, aku meninggalkannya dan berlari…

*****

“Jadi Vahn, kau mengenal siapa yang menculik Ovelia?”, tanya Gafgarion padaku.
Aku terdiam. Kemudian Agrias keluar dari biara.
“Dia membawa putrid Ovelia bersamanya. Tentu dia belum jauh dari sini.”, jelas Agrias.
“Apa kau akan mengikutinya?”
“Tentu!”
“Kita tak akan menolongmu. Ini tidak ada pada kontrak.”, jelas gafgarion sebagai pemimpin kami, pasukan bayaran.
“Kita tak butuh bantuan dari seseorang yang bukan seorang ksatria. Seorang ksatria harus bertanggungjawab pada kesalahan yang diperbuatnya. Ini adalah tanggungjawab kita sebagai pengawal putri. Ayo kita pergi, Alicia, Lavian!”
Seorang biarawan bernama Simon keluar dari biara.
“Sang putri… bagaimana dengan sang putri?”, Simon.
“Aku bersumpah akan membawanya kembali!”, kata Agrias dengan yakin.
“Kau akan dalam bahaya Agrias.”, kata Simon yang khawatir pada Agrias yang notabene adalah ksatria wanita.
“Jangan khawatir! Aku bersumpah demi kebangganku sebagai ksatria. Aku akan menyelamatkannya!”
“Aku juga akan pergi. Aku tak akan menyusahkan kalian.”, kataku.
“Apa kau gila? Ini bukan urusan kita!”, kata Gafgarion.
“Aku harus tau kenapa Delita melakukan ini. Aku harus melihatnta dengan mata kepalaku!”
“Maksudmu dia yang kau lihat tadi? Kau keras kepala. Jangan menangis padaku jika sesuatu terjadi padamu!”

*****

Inilah awal dimulainya kembali perang yang telah berlangsung selama 50 tahun, yang kemudian disebut sebagai “Lion War”…

*****